Sejarah Perkembangan Hukum
Indonesia
Sejarah perkembangan hukum di Indonesia
memiliki dinamika dan kondisi sosial yang sangat kontras di tiap periodenya.
Berikut akan dipaparkan perkembangan sistem hukum di Indonesia sejak era
Kolonial, Pasca Proklamasi, Reformasi hingga saat ini.
A. Masa Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC & Liberal
Belanda, serta Politik etis hingga penjajahan Jepang.
1)
Periode VOC (1608-1799)
Hukum
Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi
pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas
secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan
hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap
rakyat pribumi di masa itu.
Sedangkan sistem hukum yang
diterapkan bertujuan untuk:
Ø Kepentingan
ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda
Ø Pendisiplinan
rakyat pribumi dengan cara yang otoriter
Ø Perlindungan
terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa
2)
Periode
Liberal Belanda (1854-1900)
Pada
1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR
1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan
utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum
pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan
dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap
eksekutif (terutama Presiden) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses
peradilan yang bebas.
Otokratisme
administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak
lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik
liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi,
karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
3)
Periode Politik
Etis – Kolonialisme Jepang
Kebijakan
Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal
politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah:
·
Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk
pendidikan lanjutan hukum
·
Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk
kaum pribumi
·
Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari
segi efisiensi
·
Penataan
lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas
·
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berorientasi pada kepastian hukum.
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial,
pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
ü Dualisme/pluralisme
hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan
ü Penggolongan rakyat ke dalam
tiga golongan dimana sebagai berikut: Eropa
dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang
pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan
yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa
perubahan perundang-undangan yang terjadi:
·
Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku
untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina
·
Beberapa
peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang
berlaku.
Di bidang peradilan, pembaharuan
yang dilakukan adalah:
ü
Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan
ü
Unifikasi
kejaksaan dan Pembentukan lembaga
pendidikan hukum
ü
Penghapusan pembedaan polisi kota dan
pedesaan/lapangan
ü
Pengisian secara massif jabatan-jabatan
administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.
B. Masa Pasca Kemerdekaan
1)
Periode Revolusi
Fisik (1945-1949)
Pembaruan hukum yang sangat
berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang
bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi:
Ø
Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan
melakukan penyederhanaan
Ø
Mengurangi dan membatasi peran badan-badan
pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan
dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
2)
Periode
Demokrasi Liberal (1950-1959)
UUDS 1950 yang telah mengakui hak
asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak
banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan
adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara,
yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3)
Periode
Demokrasi Terpimpin (1960-1965)
Langkah-langkah pemerintahan
Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan
peradilan adalah:
Ø Menghapuskan
doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di
bawah lembaga eksekutif
Ø Mengganti
lambang hukum (Dewi Keadilan), menjadi
‘pohon beringin’ yang berarti pengayoman
Ø Memberikan
peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas
proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965
Ø Menyatakan
bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan,
sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan
kontekstual.
4)
Periode
Orde Baru (1966-1998)
Perkembangan dan dinamika hukum
dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum
dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde
Baru membekukan pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia;
di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU
Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan:
·
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah
eksekutif
·
Pengendalian sistem pendidikan dan
penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan
yang baik dalam hukum Nasional.
C. Masa Reformasi / Pasca Orde
Baru (1998-sekarang)
Sejak
pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat
kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara,
beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
ü Pembaruan
sistem politik dan ketetanegaraan
ü Pembaruan
sistem hukum dan hak asasi manusia
ü Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru,
bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun
dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu.
Aparat penegak hukum seperti polisi,
jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu
mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari
ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden
Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam.
Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk
menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri,
semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap
terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
Sumber Materi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_di_Indonesia
http://hukum_sejarah_hukum_Indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar