Kebudayaan Asli Betawi
A.
Suku Betawi
Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia
yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta. Sejumlah pihak berpendapat
bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa
lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah
keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda
ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung
pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai
kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.
Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil
kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya
benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada
serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman
Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang
Sunda, Jawa, dan Madura. Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka
Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan
Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)"
mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 -
3000 sebelum masehi.
Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang
pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya
diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis,
mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah
campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari
perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar,dan Ambon, serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.
Pada penelitiannya
Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu:
1. Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang
berdiam di dalam kota benteng Batavia.
2. Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
3. Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
4. Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke
17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya
dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan
dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah
ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis terletak
di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.
B. Etimologi Betawi
Kata Betawi digunakan
untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada
beberapa acuannya:
- Pitawi (bahasa Melayu
Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek
bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan
bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci
yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
- Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata
"Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada
ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari
abad ke-11 M.
- Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.
Kemungkinan nama Betawi yang
berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan
Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan
pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir,
Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama
ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis
rerumputan"
Sehinga Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada masa Hindia Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih
merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda. Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi.
Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran
Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan
Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek
moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri
Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan
munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni
mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota
Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah
menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian
diubah kembali ejaannya menjadi Jakarta).
Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia,
New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk
tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia
belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada
tahun 1923.
C. Sejarah
a)
Periode Sebelum
Masehi
Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman
MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni
Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk
Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu
kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia
menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa
sendiri-sendiri.
- Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan pada zaman
sejarah.
- Kedua, kedatangan dan pengaruh penduduk dari luar
Nusa Jawa.
- Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah
masing-masing.
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli
Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.
b)
Periode Setelah
Masehi
Ø Periode Awal
Abad ke-2
Pada abad ke-2, Menurtut Yahya
Andi Saputra Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara
atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi
adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina
telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke
Cina.
Abad ke-5
Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap. Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang -orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini ma sih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil mengge rak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu. Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.
Abad ke-7
Pada abad ke-7
Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman
kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka
mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta. Kemudian bahasa Melayu menggantikan
kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya
perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu
mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke
daerah kaki Gunung Salak dan Gu nung Gede. Bagi masyarakat Betawi keluarga
punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga
wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut
baba. Tetapi ada juga yang menyebutnya babe, mba, abi atau abah — pengaruh para
pendatang dari Hadra maut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang
menyebut umi atau enya' dari kata nyonya. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak
bontot.
Abad ke-10
Pada sekitar abad ke-10. Saat
terjadi persaingan antara orang Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong
Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi
perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka
terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah Barat mulai
dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri
dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.
Sriwijaya kemudian meminta
mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan
teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai
maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.
Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang
pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin
awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai
lingua franca di Kerajaan Kalapa. Sejarahwan Ridwan Saidi mencontohkan, orang
“pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana
angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat”
(bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda), orang-orang di desa
pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa
Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.
c)
Periode Kolonialisasi
Eropa
Abad ke-16
Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, Belanda memerlukan
banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan membangun roda
perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali,
karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan. Itulah penyebab masih tersisanya
kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa Betawi kini. Kemajuan perdagangan
Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Nusantara hingga Tiongkok,
Arab dan India untuk bekerja di kota ini. Pengaruh suku bangsa pendatang asing
tampak jelas dalam busana pengantin Betawi yang banyak dipengaruhi unsur Arab
dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah
mengenai datangnya berbagai suku bangsa ke Batavia, Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon,
Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke
20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Abad ke-20
Pada April 1967 di
majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Lance Castles
mengumumkan penelitiannya menyangkut asal usul orang Betawi. Hasil penelitian
yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi
terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari
berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.
Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat
ditelusuri dari:
Ø Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang
berdiam di dalam kota benteng Batavia.
Ø Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
Ø Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
Ø Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.
Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan
itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan
gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal
abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak
mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data
sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan walaupun hasil kajian yang
dilakukan Lance Castles mendapatkan banyak kritikan karena hanya menitikberatkan
kepada skesta sejarah yang baru ditulis tahun 1673.
Mengikuti kajian Lance Castles antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, M.A. memperkirakan etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara
tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta
yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang
dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk
Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan
mengenai golongan etnis Betawi.
Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum
atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya
dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali
Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat
manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain
Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi,
Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat
Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa
Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang
Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di
seluruh wilayah Jakarta.
Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu,
seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai
gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal
pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin
telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.
d)
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh
Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai
minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi
mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan
tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di
Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah
salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
D. Seni dan
kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan
arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan,
Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi
juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam
etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah
bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa"
(sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik
pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada
masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa
mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara
Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.
Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara,
budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis. Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh
penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah
yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun
tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk
melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.
1) Bahasa Daerah
Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau
Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang
merupakan hasil dari asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah
lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar
"Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku
Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang
berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang
pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa
(jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan
suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut
menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan
semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan
Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh
Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk
sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China
yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda
diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang
tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap
dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam
naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di
perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah
dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é"
sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau
tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari
tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar
Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga
batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai
dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat
hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi
tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka
memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh
penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas
adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi
tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada
"a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji
Al Quran.
2) Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki
seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi
terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu
tradisional seperti "Kicir-kicir".
3)
Tari
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya
masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang
dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek, tari silat dan lain- lain. Pada
awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti
tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan
daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan
gaya dan koreografi yang dinamis.
4)
Drama
Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan
sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat
berinteraksi langsung dengan penonton.
5)
Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah
dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang yang mengisahkan
jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal
"keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan,
juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.
6)
Senjata tradisional
7)
Rumah Tradisional
E. Kepercayaan
F. Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai
hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi
atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal
di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani
kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Kampung Kemandoran di mana
tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai
disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung
Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu,
meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar,
ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat
itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi
eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan
kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah
satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang
Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi
masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar
masing-masing.
G. Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil,
baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang
Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI
Jakarta (2007 - 2012) .
Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka
sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan
cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang
tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada
anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat
dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar
Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari
perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan
dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa
kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca:
Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang
yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
H. Kuliner Khas Betawi
a) Masakan
Masakan khas Betawi antara lain gabus pucung, laksa betawi. sayur babanci, sayur godog, soto betawi, ayam sampyok, asinan betawi, dan nasi uduk.
b) Kue-kue
Kue-kue khas Betawi misalnya kue cucur, kue rangi, kue talam, kue kelen, kue kembang goyang, kerak telor, sengkulun, putu mayang, andepite, kue ape, kue cente manis, kue pepe, kue dongkal, kue geplak, dodol betawi, dan roti buaya.
c) Minuman